sampingan Kisah “Singkat” Pendakian Sumbing

30 Oktober-1 November 2013

Masih nyeri lutut ini ketika aku menulis kisah ini, yah karena terkadang naik turun tangga fakultas yang kadang sampai lantai 4 di kos juga naik turun tangga maka kambuhlah oleh-oleh dari Gunung Sumbing minggu lalu. Pendakian Gunung Sumbing ini bermula ketika aku berhasil menakklukan saudara kembarnya yaitu Gunung Sindoro awal September lalu. Bermula dari situlah Aku dan Condro memiliki angan-angan dalam waktu dekat ini jika ada libur kuliah akan mendaki Gunung Sumbing. Tepat akhir Oktober setelah UTS selesai liburpun datang. Aku dan Condro semakin menggodok matang-matang pendakian ini. Tekad kami sudah bulat, walaupun cuma berdua kami akan tetap mendaki walaupun belum ada yang tahu rute pendakian gunung sumbing di antara kami berdua. Sempat kami tawarkan ajakan pendakian kali ini kebeberapa teman maupun senior. Beragam tanggapan dari  mereka, salah satunya meminta agar pendakian diundur. Namun karena rencanaku dan Condro sudah matang kami memutuskan untuk berangkat berdua. Namun tenyata ada satu teman satu angkatan kami yang tertarik ikut mendaki Gunung Sumbing, Nunung biasa namanya dipanggil. Karena dia perempuan sendiri kami mencoba mengajak teman perempuan yang lain agar ada teman pendaki perempuan untuknya, namun tidak ada yang bisa karena banyaknya acara mereka (maklum orang-orang penting hahaha). Dengan personil seadanya tepat tanggal 30 Oktober 2013 kami berencana mendaki Gunung Sumbing. Dan ketiga amatir tersebut adalah,

  1. Faizal Septya Nugraha dengan nama rimba Paijo alias aku sendiri, bisa dibilang Hidup nomaden, termasuk kedalam ordo  omnivora, umur 22 tahun. Merupakan Mahasiswa Aktif Biologi UIN SUKA Jogja.
  2. Risky Chandra alias Sukar biasa teman dekatnya memanggil, pemuda asli bantul dengan rambut curly ini merupakan Mahasisiwa Aktif Biologi UIN SUKA Jogja.
  3. Nunung Idham Maftucha biasa dipanggil Nunung, katanya tinggal di Sleman, agak autis dan berbahaya kalo tidak di rantai. Merupakan Mahasisiwa Aktif Biologi UIN SUKA Jogja. Satu-satunya manusia yang tidak berjenis kelamin laki-laki pada pendakian kali ini ini.

30    Oktober 2013

Sore itu Aku, Condro dan Nunung mempersiapkan segala keperluaan pendakian kali ini di Beskem Biolaska. Kami packing logistik dan peralatan mendaki hasil minjam sana-sini. Terngiang kata-kata dari salah seorang senior pecinta alam “sebelum menjelajah alangkah baiknya bahwa kita mengetahui, mengenal, dan memahami medan yang akan kita jelajahi”. Berbekal kata-kata itu Condro mencoba mencari informasi mengenai track gunung sumbing melalui stupidphone-nya. Setelah searching di mbah google banyak kutemukan cerita pendakian Gunung Sumbing dan juga peta jalur pendakian dari blog-blog yang terpampang. Sedangkan Aku mencari informasi lewat teman yang pernah mendaki disana. Kemudian informasi yang Aku dan Condro dapat kami padukan untuk bekal pendakian kali ini. Kami ketahui ada beberapa pos pendakian dan dimana pos yang aman dan enak untuk mendirikan tenda.

16.20

Kami berangkat menuju Gunung Sumbing dari Beskem Biolaska. Kami menggunakan motor sebagai alat transportasi, maklumlah mahasiswa dan hanya dibekali motor sama ortu ya kemana-mana pake motor. Dengan cuaca yang mendung sore itu kami disambut macet di jalan lingkar utara Jogja ( biasa disebut ringroad lor). Terpaksa kami cari jalan alternatif lain, namun memang jam pulang kantor ya dimana-mana macet. Singkat cerita kami telah sampai di Jalan Magelang yang agak lengang. Kami mampir ke SPBU untuk mengisi bensin dan angin ban, setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

17.38

Kami berhenti di SPBU  daerah Secang untuk Shalat Magrib dan sedikit beristirahat. Dari SPBU kami lanjut ke angkringan, karena Condro belum makan dari pagi aku mengajak mereka untuk mampir sebentar di angkringan. ANGKRINGAN KUCING GUNUNG, tulisan itu yang terpampang di terpal angkringan itu. Tak disangaka menu yang ditawarkan sangat spesial, ada susu mint caramel, nasi kucing bakar, wedang uwuh dll. Penjualnya juga ramah, bahkan wedang uwuh yang Aku beli kembali diseduhkan dan ditambah gula tanpa dipungut biaya lagi, untuk bekal naik kata si penjualnya. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, namun kami sempat mampir ke SPBU di daerah Temanggung karena ulang konyol Nunung (tanya saja ke orangnya kalo ingin tahu cerita lengkapnya).

19.05

Kami sampai di Beskem Gunung Sumbing di Dusun Garung dengan sedikit kedinginan. Di dalam beskem ada 6 orang dari Sukabumi yang habis mendaki, hal ini kuketahui setelah sempat bertegur sapa dengan mereka. Kami lalu lapor dengan pengelola beskem dengan menulis nama dan identitas seperlunya. Pengelolaan Gunung Sumbing dilakukan oleh STICK PALA. Kami membayar 25.000 untuk biaya adsministrasi pendakian. 25.000 = 3 pendaki + biaya titip 2 motor + peta dan petunjuk pendakian. Yah kami memang di beri peta oleh pengelolah setelah membayar biaya admisnistrasi. Empat lembar kertas yang di steples tersebut terdiri dari peta rute pendakian, karakteristik rute dan pos pendakian, pantangan bagi pendaki di Gunung Sumbing. Dari peta tersebut kami semakin paham rute pendakian setelah sebelumnya seacrhing dan tanya beberapa teman. Ada dua jalur pendakian, yaitu jalur baru dan lama.  Di dalam beskem juga dipasang papan besar bertuliskan peraturan dan pantangan yang tidak boleh dilakukan pendaki di sekitar Gunung Sumbing. Kami berniat mendaki esok hari dan malam tersebut kami menginap di beskem. Setelah cukup istirahat Aku kemudian merebus air untuk menyeduh kopi. Kami sempatkan bermain kartu sebentar sembari minum kopi untuk sedikit menikmati suasana gunung yang sejuk sebelum tidur.

22.00 – 05.45

Menikmati nyenyaknya tidur di Beskem Gunung Sumbing. Pukul 6 pagi kurang Aku dan Condro bangun dan segera shalat subuh, sedangkan Nunung yang memang sedang berhalangan sejak kemarin memilih jogging di luar sembari menikmati udara pagi gunung yang sejuk. Namun gaya berlarinya yang aneh membuatnya nampak seperti orang autis. Selesai shalat kami merebus air untuk membuat kopi dan susu coklat hangat untuk teman sarapan sebungkus roti tawar. Setelah itu kami kembali mengemasi barang-barang kami kedalam carier dan bersiap mendaki. Setelah semuanya siap kami berfoto terlebih dahulu di depan beskem. kemudian kami pamit dengan pengelola beskem, berdoa lalu berangkat ke atas. Kami berniat berangkat melalui jalur baru dan pulang melalui jalur lama.

Dari beskem kita lurus menyusuri jalan aspal desa, beberapa ratus meter kemudian jalan aspal berganti menjadi jalan batu yang tertata rapi. Nunung yang baru pertama kali mendaki gunung di atas ketinggian 3000 mdpl terlihat ceria wajahnya saat akan memulai pendakian. Setelah menemui masjid Al-Mansyur kami berbelok kekanan menyusuri jalan pinggir desa.  Ujung jalan desa yang kami lalui adalah jembatan yang merupakan batas akhir desa. Ada dua jembatan yang dilalui setelah jalan desa menuju jalur ke ladang. Jalan di jalur ladang juga merupakan batu yang ditata rapi. Karena pendakian kami lakukan pagi hari, masih banyak penduduk yang memulai kegiatannya. Mulai dari desa anak-anak yang berangkat sekolah hingga di jalur ladang kami juga banyak berpapasan dengan petani yang menuju ke ladangnya. Track pendakian di jalur ladang sudah mulai menanjak, seringkali Nunung berhenti untuk beristirahat. Maklumlah ini adalah pendakian pertamanya dan juga dia perempuan sehingga fisiknya kurang jika dibandingkan dengan Aku dan Condro. Tak jarang Aku ditinggal jauh Condro karena ada satu makhluk yang lumayan bikin lambat yaitu Nunung. Aku yang dianggap mereka ketua team memiliki tanggung jawab kepada setiap anggotanya, oleh karena itu aku terkadang harus berhenti dan menunggu Nunung yang terlalu sering beristirahat. Namun lama-kelamaan bosan juga karena Nunung telalu sering beristirahat. Jalur ladang ini kira-kira 3 km jaraknya yang harus ditempuh. Karena cuaca pagi itu cerah, Gunung Sindoro terlihat sangat jelas di jalur ladang ini. Dengan banyaknya keringat di dahi akhirnya sampai juga kami di batas ladang. Disini kami beristirahat untuk mengusir lelah yang tak kunjung mau pergi wkwkwk.

Kami melanjutkan perjalanan meskipun kami masih ingin beristirahat lebih lama, namun waktu dan jarak yang  masih harus kami tempuh sepertinya tak mengijinkannya. Kami mulai memasuki hutan dan terlihatlah vegetasi yang sangat banyak didominasi semak pada jalur kali ini. Tapi ada juga pohon pinus yang menjulang tinggi dengan kulit kayunya yang berwarna merah karena lumut yang menempel kering. Pada jalur ini kontur tanah mendominasi dan terasa agak dingin karena cahaya matahari terhalang oleh kanopi. Tak lama kemudian kami sampai di Pos 1 Bosweisen, kami tidak beristirahat lama karena kami baru saja beristirahat di batas ladang. Jalur yang terus menanjak menemani perjalanan kami menuju Pos 2. Beberapa lalat juga menemani perjalanan kami, entah spesies apa lalat-lalat itu namun mereka terus mengikuti kami dan sedikit mengganggu. Terdengar bunyi nyanyian beberapa burung dalam rimbunnya hutan yang tidak kami ketahui wujudnya karena terhalang oleh pepohonan. Setelah jauh melangkah dan berulang kali istirahat kami mendengar bunyi gemericik air. Benar ternyata kami menemui embung/genangan dari aliran sungai kecil. Embung ini menunjukan bahwa kami masih berada di jalur yang benar sesuai yang ditunjukan pada peta. Aku dan Condro sempat berfoto sebentar, sedangkan Nunung sebagai fotografer karena dia tidak mau di foto karena malu dengan wajahnya yang sangat menawan hahahaha.

Beberapa saat kemudian kami sampai di Pos 2 yaitu Gatakan. Pos ini sangat layak untuk istirahat karena terdapat gazebo yang lumayan baik sehingga tanpa tenda pun bisa terlindung dari panas dan hujan. Kami istirahat cukup lama di pos ini sambil memakan roti untuk mengisi energi yang terkuras cukup banyak sejak langkah pertama kami. Disini Aku menemukan sepasang sandal trendy milik pendaki lain yang mungkin tertinggal. Dengan segera Aku membungkus sandal tersebut dengan rapi dan mengikatnya di carier lumayan dari pada ga ada yang mungut malah menambah populasi sampah di gunung.

Kembali Aku mengingatkan untuk segera melanjutkan perjalanan karena kami tidak tahu seberapa jauh lagi track yang harus kami lewati. Baru menaiki satu tanjakan pertama dari Pos 2 Aku sedikit terperosok karena tanah yang dipijak labil, namun Aku masih bisa menyeimbangkan tubuh sehingga tidak sampai jatuh. Sialnya kaki yang kugunakan untuk bertumpu mengalami kram. Segera Condro melakukan pertolongan dengan meluruskan kakiku dan menekan telapak kakiku yang kram kearah tubuh. Kemudian ia menempel beberapa koyo pada bagian kakinya yang kram.  Setelah reda aku meminta condro untuk mengantikan membawa carierku yang merupakan carier paling berat diantara tiga carier yang kami bawa. Setelah condro ganti membawa carierku kami melanjutkan perjalanan namun beberapa langkah kemudian kakiku kram kembali dan condro kembali membantuku. Hal tersebut terjadi berulang kali karena track kali ini lebih menanjak dengan kemiringan mencapai 70 derajat dan didominasi bebatuan. Ditengah perjalanan kami menemukan tempat cukup rata dan kami memutuskan untuk Shalat Dzuhur dan Ashar sembari istirahat sejenak.

Perjalanan kembali kami lanjutkan, beberapa saat kemudian kami menemukan memoriam salah satu pendaki yang mungkin meninggal di sini. Dalam perjalanan kali ini kami juga menemukan jejak mamalia berkaki empat dan berkuku dua. Hal ini kami simpulkan dari pengamatan kami pada jejak itu, yang kemungkinan adalah jejak babi hutan. Setelah perjuangan yang melelahkan kami sampai juga di Pestan (Peken Setan) yang merupakan Pos 3. Dari sini terlihat Gunung Sumbing yang masih menjulang tinggi. Membuat rasa pesimis kami muncul dan rasa lelah kami bertambah. Pada pos ini terhampar luas daratan dengan beberapa tumbuhan dan semak. Dilihat dari kondisi tersebut pos ini tidak cocok untuk mendirikan tenda karena angin dapat bertiup kencang dengan kondisi seperti itu.

Jejak kami terus tercetak di tanah seiring perjalanan kami menuju keatas. Dari Pestan naik beberapa meter kami menemukan Pasar Watu. Pada jalur ini terhampar berbagai jenis bebatuan dengan variasi bentuk dan ukurannya yang beragam. Mungkin kerena itu jalur ini dinamakan Pasar Watu. Dengan kondisi kemiringan yang masih mencapi 70 derajat kami lewati bebatuan yang kalah kerasnya dari tekad kami untuk menuju puncak wkwkwk. Diatas Pasar Watu kami menemukan batu yang besar. Menurut peta kami harus turun dan memutari batu tersebut untuk mencapai Watu Kotak yang merupakan Pos 4 dan tujuan kami untuk mendirikan tenda. Didekat jalur juga terdapat arah panah menunjuk kebawah bertuliskan puncak. Dengan sisa-sisa semangat dan energi kami turuni dan susuri jalur tersebut. Setelah turun sedikit jalur kembali menanjak dengan dominasi permukaan batu yang lebar sebagai tracknya. Dengan berhati-hati kami merangkak menaikinya. Setelahnya jalan di dominasi oleh bongkahan batu-batu besar. Aku yang berada di depan dengan energi yang masih kumiliki naik terlebih dahulu dan teriak “Watu Kotak”. Mendengar hal tersebut segera condro beranjak dari istirahat dan naik disusul Nunung yang sudah lelah karena energinya terkuras oleh medan yang memang dahsyat tanjakannya.

Hampir menjelang petang kami sampai di Watu Kotak yang merupakan Pos 4. Aku  berkeliling dan sempat naik keatas sedikit untuk mencari tempat yang aman untuk mendirikan tenda. Namun memang ternyata hanya di sekitar tempat papan bertuliskan Watu Kotak yang cocok untuk mendirikan tenda. Meskipun agak mepet dengan jalur air namun hanya tempat itu yang layak untuk mendirikan tenda. Hanya cuaca cerahlah yang kami harapkan agar tidur kami nyaman nanti malam. Setelah tenda kokoh berdiri kami kemudian masuk dan mulai mengeluarakan logistik yang kami bawa. Karena memang angin bertiup cukup kencang diluar jadi di dalam tenda inilah kami mencoba berlindung. Aku segera menyiapkan kompor dan mulai memasak air untuk menyeduh kopi dan selanjutnya memasak mie instan. Setelah selesai menyantap makan malam yang alakadarnya Aku dan Condro melaksanankan Shalat Magrib dan Isya’. Tak lama kemudian tidur yang agak tidak nyenyak kami mulai. Meskipun agak was-was dengan cuaca mendung malam itu dan yang kami takutkan adalah turun hujan lebat, namun kami tetap berusaha menikmati waktu istirahat malam itu.

Keesokan harinya pukul 5.30 kami bangun, kemudian Aku dan Condro melaksanakan Shalat Subuh meskipun dengan suhu dingin yang menusuk epidermis kulit kami. Kemudian kami keluar tenda mencoba manikmati sunrise pagi itu, namun sayangnya pada bulan itu matahari tepat di selatan garis Ekuator sehingga dengan posisi tempat kami dimana bagian selatan terhalang oleh bukit maka pupuslah pemandangan yang kami harapkan pagi itu. Kami hanya sempat berfoto dengan latar Gunung Sindoro yang terlihat sangat jelas karena cerahnya cuaca pagi itu. Angin dingin yang bertiup sangat kencang pagi itu memakasa kami masuk kembali ke tenda. Kami sempat membuang sampah organik dari dalam tubuh kami karena hal tersebut merupakan kewajiban yang tidak bisa dilewatkan hahaha. Kemudian aku yang merupakan chef dadakan ala gunung mulai meyiapkan alat masak dan mulai meracik bahan makanan dibantu Nunung, sedangkan condro kembali kedalam SB karena mungkin cemburu melihat nunung sang bidadarinya malah membantuku masak ahahahaha. Sempat ada satu pendaki yang lewat dan istirahat di depan tenda kami sembari menyapa kami yang berada didalam tenda.

Pendaki X       : Permisi mas, puncak masih jauh ga ya?

Aku                : Lumayan kayae mas, kami belum muncak soalnya. Kami nginap disini sejak tadi malam.

Pendaki X       : Oh jalurnya yang kanan apa yang kiri ini mas?

Aku                 : Yang kiri mas, yang kanan itu jalur air jadi agak tejal dan curam.

Pendaki X       : Makasih mas, saya duluan ya

Aku                 : Oh ya mas, ati- ati.

Beberapa saat kemudian masakan matang dan kami mulai menyantap sajian sarapan pagi itu. Setelah selesai kemudian kami berkemas dan mengepack semua equipment kami kedalam ransel. Tak lupa sampah botol dan plastik yang kami bawa kami kemasi dan kami bawa. Kami berkemas sebelum muncak karena alasan keamanan, maklum semua peralatan kami hanya pinjaman hehehehehe.

Jalur menuju puncak merupakan tanjakan yang didominasi bebatuan besar. Di tengah perjalanan kami menuju puncak kami kembali bertemu dengan pendaki yang tadi sempat beristirahat di depan tenda kami. Sembari istirahat kembali kami bertegur sapa di tengah jalur.

Condro            : Masih jauh ga mas puncak?

Pendaki X       : Lumayan, nanti turunnya ga lewat jalur ini apa og udah dikemasi?

Condro            : Lewat sini og, biar nanti tinggal turun aja mas jadi dikemasi sekalian. Dari mana masnya?

Pendaki X       : Jogja, dari UPN saya, masnya dari mana?

Condro            : Saya juga dari Jogja, UIN. Aslinya mana mas?

Pendaki X       : Dari Bekasi saya, tadi bertiga tapi temen saya yang dua ga kuat jadi nunggu di pestan.

Condro            : Jalurnya emang berat ini kemarin mas, tanjakan terus ga ada abisnya. Udah muncak mana aja mas?

Pendaki X       : Ya saya juga kapok, cukup sekali ini aja makanya sekalian muncak, naggung udah sampe sini. Udah pernah rinjani, semeru, jateng kurang sindoro.

Condro            : Ya udah  mas kami duluan, ati-ati turunnya.

Perjalan kami lanjutkan, dan tak berapa lama kami sampai di Tanah Putih. Jalur disini semakin kejam kerena didominasi bebatuan yang rawan longsor. Kami kembali menemui beberapa spesies seperti burung Kacamata Gunung, Jalak Gunung. Setelah cukup lelah dan lama kami berjalan akhirnya kami sampai di puncak juga.

Kawah terlihat sangat jelas karena cuaca yang sangat cerah pagi itu. Kami sampai di Puncak Buntu, disini kami dapat melihat Puncak Rajawali yang merupakan titik paling tinggi Gunung Sumbing. Ingin rasanya kami naik keatasnya, namun dengan pertimbangan peralatan seadanya dan medan yang sangat sulit juga dehidrasi serta kolaborasi dimana inspirasi ditambah juga kami telah frustasi maka kami urungkan keinginan itu. Tak lupa condro lantangkan sumpah pemuda meskipun hari itu sudah tanggal 31 oktober dan sedikit salah hahahahaha.

Bau belerang dan lalat yang entah tidak kami ketahui jenisnya menemani pagi kami di Puncak Buntu. Setelah puas menikmati pemandangan dan panas mulai menyengat kami memutuskan untuk mengakhiri saat-saat singkat kami di puncak. Kembali kami telusuri jalur yang tadi kami lalui sewaktu naik, bedanya sekarang kami bergerak turun. Dan hal ini lebih sulit karena bebatuan rawan longsor, bahkan Nunung terkilir kakinya karena terpeleset setelah batu yang dipijaknya longsor. Setelah melewati Tanah Putih kami kembali melewati Watu Kotak tempat kami menginap tadi malam dan proses turun dari Watu Kotak ini membutuhkan pijakan kaki yang lebih kuat karena kondisinya yang didominasi permukaan batu yang lebar dan licin serta curam.

Pasar Watu juga kembali kami lalui dengan energi dan semangat yang masih tersisa, bongkahan batu-batu besar kami hindari mengikuti jalur yang ada. Nunung tertinggal sangat jauh karena aku sudah malas menjadi sweaper lagi. Munggkin karena terkilir kakinya menyebabkan Nunung jalannya lambat. Kakiku yang dari kemarin sempat kram kembali merasa nyeri meski sudah kugunakan istirahat tidur semalam. Tak lama kami sampai di Pestan, disana sudah ada dua pendaki yang beristirahat.

Pendaki A       : Sudah sampai puncak mas? Masih jauh ga?

Condro            : Sudah mas, wah lumayan jauh mas. Cuma berdua mas?

Pendaki A      : Iya dari Jogja, kami dari pertanian UGM semester 7

Condro            : Kami juga dari UIN Jogja, aslinya mana mas?

Pendaki A       : Saya dari sumut kalo temen saya ini dari Wonogiri.

Condro            : Naik tadi pagi mas?

Pendaki A       : Naik tadi malam mas, tapi kami sempat tersesat. Kemarin lewat jalur lama terus tersesat tembus sampai jalur baru. Jadi malam tadi kami sempat nginep di pos 2 jalur baru.

Condro            : Waduh og bisa sampai nyasar mas? logistiknya masih cukup ga mas? ini makan dulu kami masih ada sisa roti sama susu.

Pendaki A       : Iya kami lewat jalur air kayanya terus lewat semak-semak ga taunya tembus jalur baru. makasih mas, logistik kami masih cukup og.

Condro            : Kami turun duluan ya mas, selamat mendaki.

Dari Pestan yang merupakan pertemuan jalur baru dan jalur lama ini , kami memutuskan untuk turun melalui jalur lama setelah kemarin naik melalui jalur baru. Hal ini merupakan usulan condro karena aku juga ingin tahu perbandingan diantara dua medan jalur ini, maka lewatlah kami ke jalur lama. Jalur turun dari pestan melalui jalur lama ini lebih banyak vegetasi yang mendominasi. Hal ini membuat jalur ini lebih teduh dari jalur baru kemarin yang di dominasi oleh batuan.

Sepanjang perjalanan turun kami disuguhi oleh pemandangan ilalang dan pohon disekitar jalur. Namun kami harus turun dengan berhati-hati karena medan yang curam dan licin. Setelah lama kemudian kami sampai di Engkol-Engkolan, yaitu salah satu tempat camp yang berada di jalur lama. Lam kami istirahat di sini sambil membasahi tenggorokan kami yang kering karena dahaga. Dari engkol-engkolan kami melanjutkan perjalanan turun dan sampai di Pos 2 jalur baru yaitu. Tempat ini lumayan luas dan aman untuk mendirikan tenda. Bisa tiga tenda dengan kapasitas 6 orang didirikan di pos ini sekaligus. Tempat ini juga teduh karena dikelilingi oleh pohon-pohon besar disekitarnya.

Waktu  semakin sore kami mempercepat perjalanan kami turun. Meski kaki kiriku terus merasa nyeri tapi tetap kupaksakan agar lekas sampai. Condro juga mengalami hal yang sama denganku. Sedangkan Nunung kaki kanan yang terkilir sewaktu turun dari puncak juga masih dirasakannya. Kami bertiga memanfaatkan tongkat sebagai alat bantu jalan sejak dari pestan tadi. Disepanjang perjalanan kami juga banyak menjumpai pendaki karena memang hari ini hari jumat, dimana banyak dimanfaatkan untuk mendaki karena merupakan weekend.

Hampir petang kami sampai di Pos 1 jalur lama yaitu Malim. Kami tak banyak istirahat lama karena mengejar waktu agar sampai beskem sebelum petang. Tak jauh berjalan dari malim kami telah sampai di batas ladang. Lega rasanya kami telah sampai kembali di ladang karena hanya tinggal mengikuti jalur itu tanpa harus takut tersesat. Namun kami perjalanan kami masih sangat jauh, karena mengingat kemarin jalur ladang mencapai separuh rute pendakian seperti yang digambarkan pada peta. Kami menyusuri ladang yang jalurnya merupakan batuan yang tertata rapi. Setelah lama kami susuri ladang kami kahirnya sampai didesa. Kira-kira setengah jam kemudian kami telah sampai di beskem meskipun sempat bingung mencari jalur terdekat untuk mencapai beskem.

Sesampainya di beskem kami membersihkan diri seperlunya. Beskem hari ini berbeda dengan hari kemarin karena hari ini dipenuhi oleh para pendaki yang ingin menghabiskan akhir pekan mereka di gunung. Karena sudah terlanjur petang aku dan condro sekalian menjalankan Shalat Magrib dijamak dengan Isya’. Sebelum pulang aku dan Nunung menyempatkan membeli souvenir berupa gantungan kunci dan emblem khas Gunung Sumbing. Setelah kami pamit dengan pengelola kami pulang ke Jogja.

THE END

3 comments

Tinggalkan Balasan ke nurdin27 Batalkan balasan